Jumat, 24 Juni 2011

LAWAN RUU INTELEJEN


RUU INTELIJEN PRO KAUM MODAL
DAN ANCAMAN BAGI GERAKAN RAKYAT ANTI KAPITALISME

Krisis global yang berawal dari Amerika yang dikenal sebagai negara adidaya telah menular ke Eropa, Asia termasuk Indonesia dan banyak Negara lainnya. Di Negara-negara industri utama mengalami kepanikan dan ramai-ramai melakukan tindakan penyelamatan, bagaiamana tidak, kejatuhan beberapa pasar modal di Negara industri utama dan banyaknya perusahaan yang mengalami kerugian bahkan menutup usahanya.
Penyelamatan tersebut diwujudkan melalui program dana stimulus, pengetatan anggaran dan hutang. Namun program tersebut malah justru membuat rakyat semakin terpuruk, sehingga melahirkan perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Negara. Seperti di Yunani, Spanyol, Portugal, Amerika dan Inggris, pemerintah melakukan pengetatan anggaran yang kemudian disambut dengan perlawanan oleh buruh, petani, mahasiswa. Kenyataannya bahwa program tersebut tidak cukup untuk mengatasi krisis kapitalisme. Kini upaya penyelamatan krisis kapitalisme yang lebih agresif yaitu melalui pasar bebas.
Pasar bebas sendiri dibidani oleh organisasi perdangan dunia (WTO) sebagai salah satu perangkat kapitalisme internasional. WTO telah menurunkan bentuk-bentuk perdagangan bebas diantaranya tingkat bilateral dikenal dengan BFTA (Bilateral Free Trade Agreement) dan kawasan (regional) yang disebut sebagai RTA (Regional Trade Agreement). Perjanjian-perjanjian perdagangan bebas tersebut kini lebih dikenal dengan FTA (Free Trade Agreement). Oleh karena itu, bagi Negara-negara yang tergabung dalam WTO mau tidak mau harus terlibat dalam perdagangan bebas, termasuk Indonesia.
Dalam perkembangannya, kelas pemodal terus menerus mendorong Negara-negara agar segera menjalankan program liberalisasi. Di Indonesia dengan kepemimpinan rezim SBY-Boediono dan elit politik borjuasi telah menyepakati hasil-hasil dari pertemuan Nasional Summit dan ASEAN Summit serta telah merumuskan Masterplan Percepatan Dan Perluasan Ekonomi Indonesia.
Melihat dari rekomendasi dan masterplan tersebut yang diamini oleh rezim SBY-Boediono, merupakan skema dari perampokan secara brutal oleh kapitalisme internasional. Sebagai agen kapitalisme, SBY-Boediono melakukan perjanjian perdagangan bebas dengan hampir semua negara maju: China, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru serta Amerika, Rusia dan Uni Eropa.
Adapun  substansi tujuan ASEAN Summit adalah menciptakan pasar tunggal dengan basis produksi yang stabil, mempertinggi kompetitif, serta ketersediaan infrastruktur dan investasi. Agenda untuk mewujudkan ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) pada tahun 2015, seluruh negara ASEAN harus melakukan liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil secara bebas dan arus modal yang lebih bebas lagi.
Kita ketahuai bahwa Negara bukanlah sebuah realitas yang dihadirkan oleh kekuatan objektif diluar masyarakat, namun Negara adalah produk dari masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu. Perjuangan kelas adalah hukum dasar yang menggerakan perkembangan masyarakat dan kesadaran-kesadaran kelas ditentukan oleh tingkat perkembangan posisi mereka. Dimana kelas yang sedang berkuasa akan melindingi kelasnya dengan lembaga yang memiliki otoritas yaitu Negara. Artinya, Negara merupakan alat kekuasaan bagi kelas yang berkuasa dan Negara sebagai badan khusus dengan kekerasan untuk menghisap kelas tertindas dengan memastikan dominasi atas ekonomi, politik, sosial.
Regulasi sebagai legitimasi untuk merepresif rakyat yang melawan serta untuk melindungi kelas pemodal adalah dengan RUU Intelijen. Alasan Kehadiran RUU Intelijen yang dipaksakan oleh rezim berkuasa adalah “menara pesuar” yang siap mengintai dan “me-rumah kacakan” gerakan rakyat yang anti terhadap kapitalisme.
Alasan rezim, RUU Intelejen untuk terwujudnya tujuan nasional negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penting dilakukan deteksi dini yang mampu mendukung upaya menangkal segala bentuk ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan yang membahayakan eksistensi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam upaya mewujudkan cita-cita tersebut, integritas nasional, tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan terciptanya stabilitas nasional yang dinamis merupakan suatu persyaratan utama.
Namun, jika kita kaitan dengan situasi dewasa ini, jelas kehadiran RUU Inteleijen bertentangan. Dimana RUU Intelijen dibuat untuk memenuhi kepentingan kelas pemodal yang terus mengancam kesejahteraan rakyat serta membahayakan bagi eksistensi kemandirian bangsa. Bagaimana tidak mengancam dan membahayakan, kelas pemodal dengan program liberalisasinya akan menindas buruh dengan memberlakukan sistem kerja kontrak dan out sourching serta menerapkan politik upah murah. Bagi petani, program liberalisasi di bidang agraria semakin memiskinkan petani dan yang lebih parah lagi adalah perampasan tanah petani oleh korporasi-korporasi lokal maupun internasional. Begitu pula di sektor pendidikan, dengan program liberalisasi pendidikan telah ter-kapitalisasi-kan secara masif, sehingga akses rakyat dalam mendapatkan pendidikan pun dibatasi.
Jelas yang mengancam dan membahayakan adalah kelas pemodal. Akan tetapi pemerintah membuat RUU Intelijen untuk melindungi kelas pemodal dan kekuasaannya dan sebaliknya pemerintah hendak menghancurkan gerakan rakyat yang menentang keberadaan kelas pemodal di Indonesia. Pada Pasal 1 ayat 2 : Intelejen negara adalah lembaga pemerintah yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan fungsi dan kegiatan intelejen. Dampaknya adalah Intelijen bisa menjadi alat kekuasaan semata bagi rezim karena tidak mengabdi kepada negara yang tujuan awal kemerdekaannya menentang kapitalisme. Pasal 1 ayat 9 : Pihak lawan adalah pihak dari dalam maupun luar negeri yang melakukan kegiatan kontra intelejen yang dapat merugikan kepentingan stabilitas nasional. Kemudian Dampaknya adalah siapapun yang tidak sejalan dengan pemerintah bisa dianggap lawan. Padahal yang merugikan, mengancam dan membahayakan kehidupan rakyat dan nasional adalah kelas pemodal. Pasal ini juga dapat memberangus gerakan rakyat yang anti terhadap rezim borjuasi dan kelas pemodal.

Kamis, 09 Juni 2011

Politik

Edukasi

PENDIDIKAN GRATIS ?


UU SISDIKNAS NO. 20 TAHUN. 2003

BAB VIII
WAJIB BELAJAR
Pasal 34 Ayat (2)
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”

Inilah dasar hukum mengapa pendidikan dasar harus gratis, meskipun dalam UU Sisdiknas sendiri terminologi ‘gratis’ tidak dikenal. Karena politisi dan para calon bupati/walikota dan bahkan calon gubernur kebanyakan telanjur menggunakan istilah pendidikan gratis ketika berkampanye untuk menduduki posisinya masing-masing, pendidikan gratislah yang paling menjadi terkenal beberapa tahun terakhir ini. Dan tiga tahun terakhir ini pendidikan gratis banyak dikumandangkan untuk berkampanye para politisi, bupati/walikota dan bahkan gubernur dan calon presiden dalam rangka merebut simpati para pemilihnya.
Tak satu pun para pejabat publik yang harus dipilih oleh rakyat secara langsung yang tidak memanfaatkan tema pendidikan murah dan bahkan pendidikan gratis sekali pun. Namanya juga janji. Ada yang ketika mereka benar-benar menjadi pejabat publik, kemudian langsung memenuhinya dan juga ada yang tidak peduli sama sekali. Mereka yang memenuhi kemudian memang memiliki political will dan dengan demikian mengalokasikan dana dari APBD mereka untuk menggratiskan wajib belajar (wajar) pendidikan dasar di daerah kekuasaannya. Pada konteks seperti ini, pendidikan gratis bisa berjalan dengan wajar sehingga sekolah masih memiliki cukup sumber daya untuk berkembang dan melakukan inovasi yang memerlukan biaya. Dalam konteks seperti ini sekolah tidak dipasung dengan utopia pendidikan gratis. Dengan demikian ketika pemda sanggup menambahi dana untuk membiayai operasional sekolah maka sekolah masih memiliki ruang untuk melakukan peningkatan kualitas pendidikan di sekolahnya masing-masing.
Sebaliknya, bagi para bupati/walikota atau gubernur yang tidak menepati janji kampanyenya, isu pendidikan gratis justru hanya membelenggu sekolah sebagai akibat minimnya pendanaan operasional di sekolah pada jenjang pendidikan dasar yang menjadi sasaran wajib belajar. Mereka, para bupati/walikota dan gubernur yang masuk golongan ini hanya mengandalkan besarnya subsidi dari pemerintah pusat yang sebenarnya sejak awal didesain hanya untuk membantu pemerintah daerah.
Sekali lagi dana dari pemerintah pusat itu hanyalah bantuan. Karena hanya bantuan, maka namanya pun juga menjadi: Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Besaran BOS sebenarnya selama ini hanya cukup untuk menutup biaya operasional sekolah sebesar sepertiga saja. Kecuali, di sekolah dasar di desa-desa, memang BOS sudah bisa menutup semua biaya operasional sekolah. Namun, untuk sekolah yang berada di kota tidak cukup BOS untuk menutup semua biaya operasional sekolah.
Kelompok pemda yang hanya mengandalkan BOS dari pemerintah pusat untuk menepati janji akan melaksanakan pendidikan dasar gratis inilah yang menjadi persoalan. Sekolah sudah telanjur tidak boleh memungut sumbangan dari masyarakat, sedang pemda sendiri tidak mengalokasikan sejumlah dana untuk membiayai biaya operasional sekolah berdampingan dengan BOS dari pemerintah pusat. Akibatnya kualitaslah yang menjadi korban di sekolah-sekolah yang diklaim pemda harus gratis itu.
Pada tahun 2009 akan lain skema pendidikan gratisnya. Pemerintah pusat menaikkan jumlah BOS secara signifikan. Tahun 2008 BOS untuk SD hanya Rp 254.000 per siswa per tahun. Tahun 2009 BOS dinaikkan menjadi Rp 397.000 per siswa per tahun untuk SD di kabupaten. Untuk SD di perkotaan BOS tahun 2009 besarnya Rp 400.000. Untuk SMP, BOS tahun 2008 hanya sebesar Rp 354.000 tahun 2009 BOS SMP akan naik menjadi Rp 570.000 per siswa per tahun untuk daerah kabupaten dan Rp 575.000 per siswa per tahun untuk daerah perkotaan. Jumlah kenaikan itu sudah termasuk untuk beli buku murah yang hak ciptanya sudah dibeli oleh Depdiknas.
Dengan jumlah BOS yang naik itu pemerintah telah menganggarkan Rp 16 triliun untuk membiayai biaya operasional pendidikan dasar. Karena itu pada tahun 2009 semua pendidikan dasar yang belum berada pada tingkatan mutu layanan berbentuk rintisan sekolah berstandar internasional atau sekolah berstandar internasional wajib menggratiskan para siswa dari pungutan untuk biaya operasional. Jika saja BOS dari pemerintah pusat belum mencukupi, maka pemerintah daerah wajib mengompensasi kekurangannya itu.Di sinilah letak komitmen para kepala daerah apakah mereka taat asas pada janji kampanyenya dulu. Semestinya pemerintah daerah bersedia menyediakan alokasi anggaran tambahan untuk menggratiskan siswa dari pungutan biaya operasional paling tidak separuhnya dari besaran BOS yang digelontorkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hendaknya tidak hanya berpegang pada persentase alokasi APBD di sektor pendidikan di daerahnya setelah Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas mengalami perubahan rumusan alokasi yang memasukkan faktor gaji guru, sesuai dengan uji materi UU Sisdiknas oleh Mahkamah Konstitusi. Setelah gaji guru dihitung sebagai pembiayaan pendidikan maka saat ini hampir semua pemda tanpa berbuat apa-apa pun telah memiliki alokasi lebih dari 20% dari APBD-nya untuk sektor pendidikan. Padahal dari persentase itu sebagian besar memang untuk gaji. Alhasil biaya untuk operasional sekolah masih di bawah 20% dari APBD.
Kalau pemerintah pusat sudah menggelontorkan uang paling tidak Rp 16 triliun, maka komitmen yang sama juga harus muncul dari pemda di seluruh tanah air. Tanpa ada komitmen yang jelas dari pemda untuk menggratiskan pendidikan dasar, mustahil pendidikan gratis akan disertai dengan peningkatan kualitas. Karena itu pemda memang perlu untuk mengalokasikan APBD-nya secara signifikan untuk mewujudkan pendidikan gratis yang berkualitas. Tanpa begitu akan lahir pendidikan gratis tanpa kualitas.

SMI Se-Indonesia Mengguncang Semarang



“Statement Resmi KPP-SMI”

“Dibawah Sistem Kapitalisme, Rezim Sby-Budiono Dan Elit Politik Borjuasi
Telah Gagal dalam mensejahterakan rakyat”
Wujudkan Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis dan Bervisi Kerakyatan

Dorongan percepatan pasar bebas ASEAN, tidak lain hanya untuk penyelamatan modal asing yang sampai saat ini masih mengalami krisis dan bagaimana untuk melayani nafsu keserakahan dan kebiadaban kaum pemilik modal yang selama ini bertanggungjawab atas tragedy kelaparan, kemiskinan dan kematian diseluruh dunia akibat eksploitasi dan penghisapan yang dilakukan oleh kaum modal lewat kebijakan pasar bebas sistem kapitalisme.
ASEAN Summit di Jakarta yang berlangsung tanggal 7 – 8 Mei sebagai konsolidasi regional tingkat ASEAN telah melahirkan beberapa kesepakatan yang mendorong terjadinya proses liberalisasi yang semakin massif dalam segala sector di masing-masing anggota ASEAN. Dan merupakan moment penting bagi kaum modal internasional untuk mengintervensi dan mengintensivkan perdagangan bebas di ASEAN (ASEAN Economic Community) yang akan di integrasikan dalam satu ekonomi tunggal, perdagangan bebas dunia.
Semangat untuk menerapkan pasar bebas di kawasan ASEAN telah melahirkan PIAGAM ASEAN yang menjadi landasan kesepakatan bersama dalam menerapkan kebijakan pasar bebas. Ada 3 syarat utama yang di anjurkan dalam piagam ASEAN untuk menjadi masyarakt ekonomi bersama, yaitu liberalisasi Perdagangan Barang, liberalisasi sektor keuangan dan investasi, serta liberalisasi perdagangan Jasa dan Tenaga Kerja. Keterlibatan Indonesia dalam ASEAN SUMMIT semakin menunjukan arah perkembangan politik Indonesia kedepan. Rezim SBY-BD yang di dukung penuh oleh para elit-elit politiknya besarta partai-partai politik dan seluruh perangkat Negara yang ada, semakin menunjukan bahwa rezim SBY-BD adalah rezim yang mengambil pola kebijakan ekonomi pasar bebas.
Pembangunan ekonomi dibawah panji-panji neoliberalisme akan semakin menjauhkan peran dan fungsi Negara dalam memberikan kesejahreraan dan keadilan bagi rakyat. Karena semangat neoliberalisme adalah mengutamakan kepentingan kaum modal (nasional maupun internasional), bukan kepentingan dan hak-hak dasar rakyat. Pendidikan, kesehatan, pangan, listrik, BBM, air dan kebutuhan dasar rakyat lainnya akan menjadi barang dagangan yang akan semakin membuat kaum pemodal semakin kaya dengan kebijakan pasar bebasnya, sementara rakyat ASEAN dan Indonesia khususnya akan semakin terpuruk dan tidak bisa mendapatkan kesejahteraannya.
Begitu juga kondisi pendidikan Indonesia kedepan pasca terjadinya pertemuan ASEAN SUMMIT, akan semakin mahal dan semakin sulit untuk bisa di akses oleh rakyat. Dimana pendidikan merupakan salah sector yang harus diliberalisasikan, seperti yang tercantum dalam AFAS ASEAN Framework Agreement on Trade in Service. Pengaturan AFAS-7, kemudian diturunkan dalam bentuk MRA(mutual recognition arrangement/) sebuah aturan khusus yang mengatur usaha negara dalam memfasilitasi pergerakan penyedia jasa profesional (perusahaan Outshourcing) di wilayah ASEAN.
Pendidikan
Di indonesia sendiri sebenarnya pendidikan tersebut telah diatur dalam perundang-undangan. Diantaranya adalah pembukaan UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Negara bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa serta setiap warga negara berhak atas pendidikan dan negera menjamin pada pasal 31 UUD 1945. Dengan demikian, negaralah yang bertanggungjawab penuh terhadap masyarakat Indonesia atas kecukupan akses pendidikan yang ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan namun dalam kenyataan semangat pendidikan dan cita-cita pendidikan yang dulu di gagas dengan semangat bahwa rakyat indonesia akan mampu mengelola sumber daya alamnya sendiri.
Sementara rakyat Indonesia hingga sekarang masih di landa oleh cengkraman sistem kapitalisme yang membuat rakyat semakin miskinan, sempitnya lapangan pekerjaan apalagi untuk biaya pendidikan untuk anak-anaknya. Menurut pemerintah dengan criteria berpenghasilan Rp 6.000 per hari atau sekitar Rp 180.000 per bulan yang masuk ketegori miskin maka jumlah penduduk miskin di Indonesia saat ini ada sekitar 43 juta atau 13 persen, Sementara data Bank Dunia, kriteria penduduk miskin adalah jika berpenghasilan 3 dolar AS per hari atau Rp 25.000 per hari atau Rp 750.000 per bulan, dengan begitu maka lebih dari 100 juta jiwa, yang masih miskin, adalah sangat kontradiktif, di tengah-tengah jumlah rakyat Indonesia yang miskin justru pemerintah melakukan sebuah kebijakan yang membuat dunia pendidikan semakin mahal dan semakin jauh untuk bisa diakses oleh rakyat miskin. Dan hal ini sangat bertentangan dengan semangat konstitusi UUD 1945.
Memasuki tahun 20011 jumlah angka putus sekolah mulai dari Sekolah Dasar (SD) sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31,05 juta anak SD putus sekolah setiap tahunnya. Ditingkat Satuan Sekolah Menengah (SMP), dari jumlah 12,69 juta siswa, 1,9 persen putus sekolah dan 30,1 persen diantaranya tidak dapat melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Selanjutnya pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) juga terjadi jumlah siswa yang tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yaitu, sebanyak 59,8 persen. Sementara jumlah angka pengangguran sepanjang tahun 2009-2010 pemerintahan SBY-Boediono hanya mampu menurunkan 1,5 persen memasuki tahun 2011 pengangguran terbuka sekarang ada pada angka 9,24 juta ini menjelaskan bahwa lembaga pendidikan hari ini tidak ubahnya sebagai perusahaan yang memposisikan sebagai lembaga penyedia jasa dan pemerintah hari ini sudah sangat jelas berada dibalik semua kenyataan ini semua melepaskan tangung jawabnya pada sektor pendidikan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang melegalkan satu proses kapitalisasi pendidikan dan melepas tanggung jawabnya.
Dari gambaran situasi obyektif di atas menambah bukti, bahwa sesungguhnya elit-elit borjuasi dan rezim anti rakyat SBY-Boediono telah gagal menyelengarakan program pendidikan gratis!!! oleh karena itu Serikat Mahasiswa Indonesia menuntut :
Pendidikan Gratis Dari TK-Perguruan Tinggi
Cabut UU SISDIKNAS Tahun 2003
Berikan Jaminan Berpendapat, Berekspresi Dan Berorganisasi Di Dalam Kampus
Transparasikan Dana Pendidikan
Menolak Ujian Nasional Yang Beroirentasi Pada Mekanisme Pasar
Stop Pungutan Liar Di Semua Lembaga Pendidikan

Solusi jalan keluar untuk kesejahteraan Rakyat
Negara Harus Menjalankan!
1. Reforma Agraria Sejati
2. Nasionalisasi Aset-Aset Vital Dibawah Kontrol Rakyat
3. Bangun Industrialisasi NASIONAL Yang Kerakyatan


Semarang, 30 Mei 2011

Koordum,