Seni Budaya


MARX BICARA SENI
Karl Marx dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1818 di kota Treves (Trieste, Trier), Propinsi Rhein di Prusia. Ada dua kontribusi Marx dalam analisisnya terhadap masyarakat kapitalis. Pertama, kapitalisme menyebabkan proses pemiskinan (pauperization) secara progresif dari kaum proletar, sehingga satu saat mereka akan menjalankan tugas revolusionernya mengambil alih kekuasaan negara. Kedua, kapitalisme akan terus menerus mengakibatkan alienasi kaum buruh dari produknya, dari proses produksinya, dari jati dirinya, dan dari komunitasnya. Jalan berfikir Marx tentang alienasi (“keterasingan”) adalah sebagai berikut: Manusia pada hakekatnya adalah pencipta, yang memanfaatkan sumber-sumber daya alam untuk kehidupannya: ia membentuk dan mengembangkan dirinya dengan bekerja merubah dunia di sekitarnya bersama sesama manusianya. Namun dengan berkembangnya kapitalisme, dunia sekitarnya, khususnya hasil ciptaannya, bukan lagi milik dia. Dunia sekitarnya menjadi asing bagi dia, karena dengan meluasnya hak milik pribadi (private property), benda-benda di sekitarnya sudah menjadi milik orang lain. Karena ide yang dominan dalam suatu masyarakat adalah ide kelas yang dominan, maka kebudayaan kelas yang dominan itu biasa dianggap sebagai kebudayaan yang dominan pula. Kebudayaan meliputi beberapa subkultur, khususnya subkultur borjuis dan proletar, atau dengan kata lain, kelas-kelas dapat dibedakan dari subkulturnya, yang pada gilirannya meliputi cara makan, cara berpakaian, cara berbicara, kebiasaan-kebiasaan, prinsip-prinsip moral, agama yang dianut, politik yang diikuti, seni yang disukai. Subkultur borjuis didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan yang sudah diperhalus, sedangkan subkultur proletar didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan ‘kasar’, seperti perumahan yang sangat tidak layak, serta alkoholisme yang semakin memperbodoh mereka sendiri.
Kepekaan untuk dapat mengapresiasi kesenian tertentu, memerlukan latihan atau pembiasaan. Karena bukan kesadaran orang yang menentukan keberadaan [sosialnya], tapi sebaliknya, keberadaan sosialnya yang menentukan keberadaannya. Panca-indera manusia dapat dilatih untuk dapat menikmati keindahan karya seni tertentu; latihan atau pembiasaan itu merupakan peristiwa sosial, bukan peristiwa individual; peristiwa sosial itu adalah bagian dari usaha menjadi manusia insan sosial; dengan demikian, orang yang punya apresiasi seni yang tinggi, karena panca indera dan perasaannya sudah terlatih, juga memiliki kepekaan sosial yang tinggi.
Dalam moda produksi kapitalis, karya seni lebih sering menjadi komoditi yang diperjualbelikan, mengikuti fluktuasi permintaan di pasar. Dalam pandangan marx pada zamannya, ia melihat bahwa seni yang ada, terliahat tak mumpunyai kekuatan dalam melihat penindasan bahkan seni menjadi alat propaganda untuk menghilangkan kesadaran historisnya. Marx mencoba membuat bagaimana seni lebih kritis dan menyampaikan pesan pembebasan manusia dari ketertindasan. Setiap karya seni dapat dipandang sebagai suatu kodifikasi (sebagai representasi dari realitas sosial yang nyata, Kodifikasi itu dapat berupa citra (image), simbol, ide, konsep atau kata) dari kebudayaan (dominan maupun tandingan) di negeri kita. Estetika karya seni itu, dapat dipandang sebagai bagian dari diskusi tentang “struktur permukaan” karya seni itu. Kemudian, rangkaian diskusi selanjutnya, untuk mencoba memahami apa yang ingin dikatakan oleh sang pencipta karya seni melalui karya seni itu, diskusi sudah mulai memasuki “struktur dalam” karya seni itu. Selanjutnya, diskusi tentang bagaimana karya seni itu diciptakan, secara perorangan atau kolektif, untuk dinikmati atau digunakan sendiri, atau untuk orang lain, apakah “orang lain” itu adalah konsumen yang tak bernama, ataukah orang kaya, orang berpangkat, atau orang yang berstatus sosial tinggi, bermanfaat untuk menggali derajat obyektifikasi versus alienasi karya itu. Juga dapat bermanfaat untuk menentukan, apakah kegiatan kesenian itu, bersifat mendukung status quo, yakni mendukung hirarki dan stratifikasi sosial yang berlaku dalam masyarakat, ataukah bagian dari usaha perlawanan dan pembebasan, dengan memberdayakan suatu kelas subaltern di negeri kita.
Pemikiran Marx pun ternyata berlaku di Indonesia yang nyata corak produksinya adalah kapitalisme. Missal, lukisan yang dari pelukisnya “hanya” berharga beberapa ratus rupiah, di bursa kolektor ada yang dapat memetik harga sampai satu milyar rupiah. Makanya beberapa perusahaan balai lelang internasional, seperti Sotheby dan Christie, punya perwakilan di Indonesia, berkongsi dengan anak-anak milyarder yang dekat dengan keluarga Soeharto. Belum lagi balai-balai lelang domestik, seperti Larasati, Masterpiece, Balindo, dan Borobudur. Jelas bahwa dalam bisnis karya seni begini, fungsi seniman/seniwati tidak lebih dari seorang buruh, sedangkan para pedagang lukisanlah yang mendapat keuntungan berlipat ganda dari hasil jualannya.
Gamelan Jawa, yang dianggap merupakan benda budaya Jawa yang tersohor di seluruh dunia. Konsultan-konsultan asing yang pernah bertugas di Indonesia di proyek-proyek Bank Dunia, tidak jarang membawa pulang gamelan Jawa ke rumah mereka di mancanegara. Harap diingat bahwa seperangkat gamelan Jawa dapat bernilai sampai Rp 150 juta. Kalau sang konsultan itu seorang ethno-musicologist, gamelan itu masih dapat dianggap sebagai bagian dari bidang ilmunya. Tapi kalau ia konsultan bidang pengairan, pengairan pedesaan lagi, dan bukan pemain gamelan, dapat dibayangkan besarnya gaji seorang konsultan Bank Dunia, sehingga dapat membeli gamelan pendongkrak status sosialnya.
Sementara itu, bagaimana nasib seniman atau seniwati penghasil karya seni yang mahal-mahal tersebut? Kecuali satu dua orang pelukis, pematung atau penari kelas internasional, para seniman dan seniwati di Indonesia umumnya bukan orang kaya. Sementara para pedagang karya seni, khususnya lukisan, umumnya orang kaya. Dari situ dapat diduga bahwa para seniman dan seniwati umumnya mengalami alienasi yang cukup tinggi.